Bentuk-Bentuk Arsitektural Selaku
Simbol Kosmologis
Sebuah kata “Indah” jika ditanyakan apa definisinya atau pun syarat-syaratnya
, niscaya akan sangat sulit untuk dijelaskan. Karena sesuatu yang Indah tidaklah
bersifat objektif, namun bersifat subjektif. Sesuatu yang bersifat subjektif
sangat relativ kebenarannya. Misalnya saja penilaian mengenai seseorang yang cantik,
terkadang pendapat satu orang dengan lainnya belum tentu sama. Biasanya kecantikan
seseorang dinilai dari warna kulitnya, wajahnya, matanya, bentuk tubuhnya,
bahkan di suku paadaung di Birma yang berleher amat panjang yang dianggap ciri
kecantikan seorang wanita. Hal tersebut membuktikan bahwa sesuatu yang
cantik/indah atau bisa disebut estetis
tidaklah mempunyai tolak ukur yang pasti.
Ternyata
pengertian mana sesuatu dikatakan indah ataupun buruk tidaklah sama. Seperti halnya
kita menyelami cita-rasa dan ukuran-ukuran nilai indah-buruk yang dimiliki
masyarakat-masyarakat di masa silam, kita tidak bisa mengerti penilaian mereka
mengenai benda atau sesuatu yang telah dibuat oleh
masyarakat-masyarakat pada masa silam. Oleh karena itu, bila kita misalnya mengatakan, bahwa bentuk Candi Panataran sangatlah indah, selaras, dan ukuran-ukuran panjang-lebar-tinggi benar-benar harmonis dan sebagainya, jelaslah itu baru penilaian subjektif kita. Sebab, membangun candi atauu pintu gerbang bagi nenek moyang kita bukan karya nomor satu dicari keindahannya, melainkan itu tugas kewajiban rohani atau agama yang ber-“dunia” khusus.
masyarakat-masyarakat pada masa silam. Oleh karena itu, bila kita misalnya mengatakan, bahwa bentuk Candi Panataran sangatlah indah, selaras, dan ukuran-ukuran panjang-lebar-tinggi benar-benar harmonis dan sebagainya, jelaslah itu baru penilaian subjektif kita. Sebab, membangun candi atauu pintu gerbang bagi nenek moyang kita bukan karya nomor satu dicari keindahannya, melainkan itu tugas kewajiban rohani atau agama yang ber-“dunia” khusus.
Pada dasarnya pada tahap primer
orang berpikir dan bercita rasa dalam alam penghayatan kosmis dan mistis, atau
agama. Tidak estetis. Estetis artinya penilaian sifat yang dianggap indah dari
segi kenikmatan. Sehingga dari contoh candi yang dibuat di masa silam yang telah
dijelaskan sebelumnya, bisa dikatakan bahwa karya seni atau khususnya
arsitektur dari zaman-zaman dahulu tidak selayaknyalah kita nilai dan kita ukur
menurut norma-norma estetika, apalagi estetika kita di masa kini.
Contoh
lainnya adalah orang-orang bali misalnya membangun meru-meru beratap ganda yang
langsing menjulang berbentuk menara yang luwes. Meru-meru dibangun
oleh orang-orang Bali bukan pertama-tama karena meru itu indah dan dapat
menyedapkan pemandangan, atau pun estetis. Tetapi meru dibangun dan hanya
dengan berbentuk seperti itu, karena itu merupakan tuntutan agama. Asas-asas
rohanilah yang menghendaki bentuk itu, demi keselamatan atau ada-diri daerah,
khususnya keluarga-keluarga yang bersangkutan.
Seperti juga
orang yang mengadakan pertunjukan wayang ataupun tarian kecak. Dari motivasi
dan suasana aslinya, pertunjukan tersebut dilakukan hanya sebagai penuaian
kewajiban kepercayaan/keagamaan, demi keselamatan kehidupan dan penghidupan
manusia, keluarga, atau masyarakat. Atau dengan sebutan lain “Mitologis”. Pertunjukan-pertunjukan wayang dan tarian
kecak yang sekarang sering kita lihat bukanlah wayang atau tarian dalam arti
mitologis, melainkan komersial. Dan karena komersial, maka harus estetis,
dengan kata lain pameran yang cantik,
manis, menarik, memukau dipandang mata.
Dari contoh-contoh diatas, hal tersebut sama halnya dengan bangunan
tempat ibadah yang sering kita lihat, atau yang biasa disebut dengan Masjid,
Gereja, ataupun yang lainnya. Bangunan-bangunan tersebut dibangun didasarkan
atas konsep atau tuntutan yang sama, yaitu ketuhanan, kepercayaan, atau
keagamaan.
Pada gambar diatas
menunjukan bahwa interior masjid dan interior gereja hampir tidak mempunyai
perbedaan. Yang pada intinya sebuah tempat yang bersuasana doa dan damai. Selain
itu unsur vertikal yang dominan juga menjadi ciri khas sebagai penggambaran
tuhan yang maha tinggi, sedangkan hambanya sangatlah kecil.
Yang membedakan hanyalah beberapa ragam hias atau ukiran yang
ada pada masjid sebagai unsur penguat adanya kitab al-qur’an pedoman umat
islam. Dan juga lambang salib yang terdapat pada gereja yang menunjukan ciri
khas umat kristen.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tuliskan Komentar atau Saran Anda dibawah ini :)
SEMANGAT BRO :D